Muwashaffat Muslim

Muwashaffat Muslim
Assalamu'alaikum wr.wb

Sabtu, 25 Agustus 2012

Kita Tak Hanya di Butuhkan di Kampus


                Kampus merupakan miniatur sebuah negara oleh karena da’wah di kampus menjadi hal yang sangat urgent. Namun, saudaraku tahukah engkau bahwa terkadang kita selalu mengistimewakan da’wah di kampus tanpa mempedulikan da’wah di tempat lain. Bukankah seharusnya kita berda’wah di manapun?

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S Al-kahfi : 28)

Dan ingatlah kawan sebesar apapun usaha kita sesungguhnya hidayah itu datang dari Allah dan kita tak mampu menuntutnya kita hanya berusaha

“Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S Al-Ankabut : 29)

Sebuah pengalaman yang saya rasakan ketika berhari raya Idul Fitri di kampung. Berikut ceritanya

                 Hari ini adalah tanggal 1 Syawal 1433 H, sebuah hari yang sangat berbahagia karena ini adalah hari Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun aku melaksanakan shalat Idul Fitri di kampung ku. Namun, ada sesuatu yang berbeda sebab pada tahun ini aku tidak tingga lagi kampung bersama orang tua ku, aku sekarang tinggal di Bandung disebabkan melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tingggi di kota tersebut, sehingga aku pun bisa dianggap sebagai pendatang.
                Hari itu berjalan seperti biasa ketika selesai melaksanakan Shalat Idul Fitri, kami pun meminta ma’af kepada orang lain mulai dari keluarga sampai ke tetangga di sekitar. Menjadi sebuah celetukan yang sangat menusuk ketika ada diantara tetangga ku yang berkata “Lukman kemana aja nih, ga keliatan padahal ditungguin buat ngisi di mushalla. Eh, malah baru datang sekarang”. Kemudian orang-orang yang berada di sekitar pun mulai berujar “Tau nih, masa ngurusin yang di luar doang, masa yang disini ga diurusin”.
                Berfikir sejenak, dan ternyata memang benar bahwa selama ini saya kurang dalam berda’wah di sekitar rumah. Padahal, ladang da’wah terbuka lebar. Aku bukanlah seorang yang baru pulang dari Mekkah, Madinah, ataupun Kairo yang notabene berisi mahasiswa yang belajar secara mendalam ilmu agama, aku bukanlah seorang yang sedang menuntut ilmu agama secara spesifik di Bandung. Tapi kenapa mereka mengharapkanku?
                Saudaraku, yang menjadi pelajaran adalah terkadang kita merasa da’wah pasti tertolak tapi apakah seperti itu? Terkadang kita sendiri yang menolak ladang da’wah itu, kita terkadang merasa bahwa di tempat ini efek da’wah kurang terasa, jadi ga usah da’wah disini. Tapi apakah seperti itu? Bukankah yang berhak menentukan hidayah adalah Allah? Terkadang kita terlalu mempetak-petakkan ladang da’wah padahal semua ornag berhak mendapatkan da’wah.
 

Jumat, 24 Agustus 2012

Dimana Kita Memposisikan Al-Qur'an?


Mungkin menjadi sebuah cerminan dalam diri kita ketika petunjuk hidup tidak lagi menjadi petunjuk. Ketika Al-Qur’an hanya dianggap sebuah buku biasa yang tak ubahnya seperti buku text book kuliah bahkan lebih rendah lagi. Berikut kisahnya.
Suatu hari saya sedang pergi ke toko buku, menarik memang melihat 2 orang wanita yang sedang melihat-lihat Al-Qur’an sambil memilih model dan jenis Al-Qur’an yang ingin ia beli. Awalnya saa menganggap itu merupakan hal biasa sebab terkadang saya pun sering melakukannya jenis font tulisan yang tidak semuanya sama dan juga mungkin warna yang kita sukai.
Kedua wanita itu terus saja berbincang tentang model yang ingin mereka beli, sampai suatu percakapan yang membuat saya miris. Yang kira-kira redaksinya seperti ini “Eh, Al-Qur’an ini bagus dah, di dalamnya ada coraknya dan ini juga ada terjemahannya”,kata salah seorang diantara mereka. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya “Sebenarnya ga terjemahannya ga ada masalah sih, ini kan Cuma buat kenang-kenangan aja, hahhaha”.
Begitu rendahkah kita memperlakukan Al-Qur’an yang notabene merupakan firman Allah Subahanallahu wa Ta'ala? Apakah Al-Qur’an hanya dijadikan cinderamata saat idul fitri? Apakah Al-Qur’an hanya dijadkan pajangan dan untuk mengusir setan? Apakah Al-Qur’an hanya dijadikan mahar pada pernikahan? Fungsi Al-Qur’an jauh lebih berharga dari itu semua, ia harusnya dijadikan sebuah petunjuk hidup referensi segalanya
“Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S Al-Baqarah : 2)
Tidak kah kita merasa sedih ketika kita mendengar firman Allah Subahanallahu wa Ta'ala
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan’. (Q.S Al-Furqan : 30)
                Saudaraku, ketahuilah sungguh ayat-ayat Allah itu sangat mahal (Q.S Al-Baqarah :174) janganlah kita menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu yang rendah, Al-Qur’an haruslah dimaknai isi dan kandungannya itulah yang membuat hidup kita teratur. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Q.S Al-Maidah: 50)

Kamis, 31 Mei 2012

Jangan Bersedih, Sungguh Allah Subahanallahu Wa Ta'ala Bersama Kita


          Mungkin sering terbersit dalam benak kita rasa lelah, rasa bosan, dan rasa ingin berhenti pada jalan ini. Bukanlah suatu hal yang aneh bila ini pernah kita rasakan. Mungkin dalam menapaki jalan ini, kita sering merasa heran selama ini kita berda'wah bukan untuk uang, bukan untuk kekuasaan, dan juga bukan untuk mendapatkan pujian bahkan kita rela mengorbankan waktu, tenaga, dan uang kita dalam jalan ini, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Lalu, kenapa da'wah kita sering tertolak?
            Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda : “Tolonglah saudaramu ketika didzalimi dan ketika mendzalimi”. Para sahabat bertanya : “ Ya rasul, bagaimana kami menolong sahabat kami yang sedang mendzalimi ?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab :”Dengan cara menghindarkan dia dari berbuat kedzaliman”.
               Saudaraku, da'wah bukanlah sesuatu yang pasti diterima, jalan da'wah bukanlah jalan yang ringan melainkan jalan yang berat, bahkan Nabi Nuh -seorang rasul- pun pernah mengadukan hal ini kepada Allah Subahanallahu wa Ta'ala (Q.S Nuh : 5-20). Seperti inilah jalan da'wah, keberhasilan seseorang dalam berda'wah tidak bisa dilihat dari hadirnya banyak orang ketika ta'lim, terwujudnya proker-proker di Rohis-rohis di sekolah atau LDK-LDK di kampus, atau pun ketika kita memegang kekuasaan.
            Percayalah saudaraku, ada atau tidak adanya kita, suatu saat nanti Islam akan berjaya yang terpenting adalah apakah kita termasuk orang yang berkontribusi di dalamnya? Tugas da'wah kita bukanlah untuk menjalankan proker, bukanlah untuk meraih kekuasaan, dan tidak juga mencari kuantitas masa itu semua hanyalah alat dan tak boleh menjadi tujuan sementara itu, tujuan da'wah kita adalah meraih ridho-Nya dalam setiap aktivitas yang kita lakukan.
                   Semoga kita selalu dilimpahkan nikmat-Nya yang paling besar, yakni nikmat iman dan islam serta semoga kita selalu dalam rahmat-Nya dan kuat menghadapi setiap ujian-Nya hingga kita dimasukkan ke surga-Nya. amiin. Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua khususnya penulis wallahu'alam bisshawab.

Selasa, 15 Mei 2012

Bangunlah dari Bawah



                Terkadang, kita berfikir bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang besar kita harus menjadi orang besar. Kita menganggap bahwa dengan menjadi orang yang berkedudukan tinggi ataupun memiliki figuritas yang besar dapat menghasilkan pengaruh yang besar dan dapat mempengaruhi orang lain. Hal ini mungkin memang penting, tapi apakah ini menajdi yang utama? Dalam da’wah kita sering berucap bahwa kita harus menjadi seorang yang memiliki kedudukan tinggi jika da’wah kita mau didengar. Tapi, terkadang hal ini terlalu diutamakan sehingga kita rela mengorbankan segalanya demi merebut kekuasaan atau pengaruh bahkan terhadap hal paling fundamental yakni ibadah kita.
                Tidak dipungkiri bahwa dengan kekuasaan kita memang bisa mempengaruhi seseorang. Tapi, apakah itu menjadi sesuatu yang melekat? Apakah ketika kekuasaan itu hilang orang yang terpengaruh terhadap kita tetap mengikuti kita? Saudaraku, Islam tidak dibangun atas sebuah doktrinasi ataupun paksaan (Q.S 2 : 256) tetapi Islam dibangun atas keimanan yang kuat, Tauhid yang menyeluruh, dan tentunya punya sebuah hikmah dalam penyampaiannya. Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita bahwa beliau membangun masyarakat Islam dari bawah bagaimana beliau membina sebuah masyarakat menjadi sebuah masyarakat yang kuat dari segi keimanan dan ketaqwaan. Suatu hari melalui pamannya Abu Thalib beliau pernah ditawari 3 hal oleh orang kafir Quraisy wanita, tahta ,dan harta. Namun, beliau hanya menjawab “wahai pamanku, seandainya mereka memberikan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku tapi bila tebusannya adalah da’wah maka aku tidak akan menerimanya”.
                Bukan hanya tentang sebuah kekuasaan, tetapi juga sebuah figuritas. Terkadang kita juga mengorbankan segalanya demi meraih figuritas. Berapa banyak orang yang rela meninggalkan identitas keislamannya sehingga ia rela membaur secara berlebihan untuk mendapatkan sebuah figuritas di suatu golongan. Padahal, apakah figuritas harus didapat dengan cara berbaur berlebihan? Bukankah Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam pun menjadi publik figur tanpa harus mengorbankan identitasnya sebagai seorang Muslim? Apakah ini yang kita cari? Kita sedang mencari kekuasaan dan popularitas atau da’wah dan ridho Allah Subahanallahu wa Ta'ala? Ketahuilah saudaraku, jika kita beranggapan bahwa da’wah kita tidak diterima hanya karena kita tidak memiliki kekuasaan itu adalah sebuah hal yang tidak pantas sebab dimana pun posisi kita, kita wajib berda’wah. Begitu juga dengan figuritas jangan pernah beranggapan bahwa figuritas hanya bisa di dapat dengan membaur secara berlebihan sampai meninggalkan identitas kita sebagai muslim. Karena figur seorang muslim jauh lebih baik dari itu semua. Kenapa kita tidak menjadi seorang muslim sejati saja seperti yang dilakukan Rasululllah Salallahu 'alaihi wa sallam, menjadi seorang yang jujur, tepat waktu, ramah, dermawan dll. Bukankah ini jauh lebih tepat?
                Sejarah Islam telah mengajarkan kita bahwa jumlah, kekuasaan, dan kekuatan tidak akan berguna tanpa adanya pertolongan Allah Subahanallahu wa Ta'ala. Mulai dari kisah Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam yang telah saya ceritakan di atas, kemudian kisah beliau ketika perang Hunain hingga dikisahkan dalam Q.S 9 : 25, dilanjutkan pada sebuah kisah di zaman Khalifah Umar bin Khatab Radiyallahu Anhu ketika beliau memecat Khalid bin Walid sebagai panglima perang diakibatkan pada pasukan kaum muslim mulai muncul bibit-bibit kemusyrikan yang menganggap bahwa jika panglimanya adalah Khalid bin Walid maka pasukan akan selalu menang, serta yang terakhir adalah ketika pasukan Muhammad Al-fatih berhasil merebut Konstatinopel dan Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya sebagai sebaik-baik panglima dan pasukannya sebaik-baik pasukan. Sejarah selalu berulang dimana kekuatan keimanan selalu menang.  
                Lantas bagaimana hal ini bisa muncul diantara kita? Mungkin sebuah pertanyaan ini akan bisa menjawab. “Pada fasa apa kaum muslim memiliki kemajuan pesat atau bisa dikatakan paling berjaya?” mungkin banyak diantara kita yang menjawab pada fasa Bani Abasyiah saat pengetahuan maju atau saat Turki Utsmani ketika kita menjadi sebuah kekuatan yang amat ditakuti. Tapi, jawaban yang paling tepat adalah fasa Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam karena pada saat itulah tercipta generasi terbaik yang nyaris tak mungkin terulang lagi. Selama ini kita beranggapan bahwa suksesnya da’wah adalah ketika kita berhasil meraih kemajuan teknologi ataupun meraih sebuah kekuasaan. Itu semua sebenarnya adalah buah dari tujuan da’wah yang sebenarnya yakni menciptakan generasi terbaik. Wallahu ‘alam. Semoga ini bisa menjadi renungan bagi penulis.

Sabtu, 14 Januari 2012

Surat Al-Kahfii dan Teori Relativitas

Q.S Al-kahfi ayat 18

18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

Al-Qur’an merupakan tuntunan hidup manusia, Al-Qur’an tidak hanya berisi aqidah dan tuntunan agama bagi umat Islam,  tetapi juga berisi berbagai macam kisah, syariat (aturan hidup) dan juga berisi ilmu pengetahuan. Selama ini, kebanyakan umat Islam hanya menganggap Al-Qur’an sebagai bahan bacaan yang berisi ajaran Islam. Padahal, Al-Qur’an adalah suatu kitab suci yang berisi berbagai macam hal yang dibutuhkan manusia baik masa sekarang maupun masa depan. Allah telah menurunkan Al-qur’an kepada Rasululah s.a.w agar ia mengajarkan kepada manusia hal yang tidak diketahui oleh manusia.
Dalam surat Al-Jumuah ayat 2 :

2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,
Tidak sepatutnya kita hanya menganggap Al-Qur’an sebagai hal yang biasa dan mengacuhkan apa yang tertulis di dalamnya.
Dalam surat Al-anfal ayat 31 :

31. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala."
Telah banyak bukti kebenaran Al-Qur’an yang telah diungkap. Dari sisi pengetahuan, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang mengungkap ilmu pengetahuan zaman modern yang ternyata sudah tertulis dalam Al-Qur’an. Disini, saya akan menjabarkan kisah Ashabul Kahfi yang ternyata bersesuaian dengan teori relativitas Einstein.
Dari surat Al-kahfi ayat 18 yang telah tertulis di atas,

18. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.
“……..kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri………”. Dari kata-kata ini, Allah mengisyaratkan bahwa mereka bergerak. Allah menggerakkan mereka ke kanan dan ke kiri.
Dalam teori relativitas Einstein, “bila suatu benda bergerak mendekati kecapatan cahaya, maka akan terjadi dilatasi waktu dan terhubung dengan persamaan :
Δt=γ Δtp
Dengan   

γ(1-v2/c2)-1/2

Δtp         = waktu yang dirasakan ketika benda bergerak
Δt           = waktu yang dirasakan ketika benda diam
c              = kecepatan cahaya (3 x 108 m/s)
Dalam surat Al-kahfi ayat 19 :


19. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)." Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari." Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.
Dalam surat Al-kahfi ayat 25 :

25. Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Jika kita mengaggap Δtp = 1 hari dan Δt  = 300 tahun = 109.500 hari
Dengan memasukkan angka-angka tersebut ke dalam persamaan Δt=γ Δtp 

maka γ =109.500 dengan γ(1-v2/c2)-1/2

maka  vc . Sehingga pantas saja dalam surat Al-kahfi ayat 25, Allah berkata :
jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.

Jumat, 06 Januari 2012

Islam Menunggu Kita (Part 2)


2.       2. Pendidikan
Sebelumnya telah di bahas mengenai ibadah sekarang mengenai pendidikan. Seberapa pentingkah pendidikan bagi perjuangan islam? Jawabannya adalah sangat penting. Kita mungkin tahu bahwa orang yang beriman dan berilmu akan ditinggikan oleh Allah beberapa derajat. Dan kita juga sering mendengar bahwa ilmu tanpa iman tak ada gunanya begitu pula iman tanpa ilmu. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sebuah jalan penting bagi kejayaan islam. Tapi, menjadi sebuah pertanyaan kembali apakah pedidikannya itu hanya berbasis pada pendidikan agama? Tentu tidak, pendidikan agama memang penting dan wajib dimiliki oleh setiap muslim. Tetapi, dalam ilmu lain (Ilmu falak, sosial, ekonomi dll) tentu juga dibutuhkan dalam perkembangan dunia islam. Kita mungkin pernah mendengar banyak ilmuwan muslim berkontribusi dalam mengubah dunia, sebagai contoh Ibnu Sina, Jabbir ibnu Hayyan, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Al-Kindi dll. Hal ini mungkin berbeda dengan dunia islam sekarang. Hari ini, kita jarang sekali mendengar ilmuwan muslim yang tampil sebagai seorang yang menggugah dunia.
Menjadi sebuah renuangan dalam kehidupan kita sehari-hari. Kekita sebuah pertanyaan kita lontarkan kepada para aktivis da’wah baik yang masih SMA maupun telah kuliah tentang informasi yang meraka percaya dari 3 buah sumber (Al-Qur’an, Televisi, Internet dan Buku). Mungkin sontak akan terdengar bahwa Al-Qur’an menjadi prioritas hal yang paling dipercaya kemudian buku, internet dan terakhir adalah televisi. Hal ini merupakan suatu yang wajar sebab dari segi kajujuran informasi dibandingkan internet, televisi kurang dapat dipercaya sebagai suatu media yang jujur sebab banyak orang-orang yang bisa berkesempatan untuk merekayasa informasi tersebut dan tentunya Al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan informasi yang paling valid dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Tetapi, bila kita bertanya kembali bagaimana perbandingan waktu mereka dalam mengakses informasi dari sumber-sumber tersebut ? Apakah Al-Qur’an kembali menjadi yang pertama? Mungkin urutan akan berubah dan internet menjadi sumber informasi yang sering diakses. Ini sebuah hal yang aneh di sisi lain kita menganggap bahwa Al-Qur’an adalah sumber yang pasti, namun kita jarang mengaksesnya. Lantas bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan pengetahuan/informasi yang benar-benar nyata sedangkan kita jarang mengakses hal tersebut. Selain itu, kita harus ingat bahwa para ilmuwan muslim terdahulu melaksanakan segala riset dan penelitiannya berdasarkan Al-Qur’an. Jadi, sebagai seorang muslim kita tidak boleh menyepelekan peranan Al-Qur’an.
Kemudian masalah pendidikan ilmu dunia. Mungkin kembali menjadi sebuah renungan dan masalah yang harus diselesaikan di kalangan aktivis da’wah. Sungguh aneh bila ternyata sekarang ini menjadi sebuah kewajaran bila seorang aktivis da’wah mendapatkan nilai akademis yang buruk. Ketahuilah saudaraku, islam tidak hanya dibutuhkan ketika kau berada di kampus atau sekolahmu. Tapi lebih dari itu, islam membutuhkkanmu ketika kau telah terjun ke masyarakat dan membina mereka. Sekarang, apakah kau akan menyianyiakan sesuatu yang dapat memiliki kontribusi yang lebih besar ? Saudaraku, aturlah waktumu sedemikian rupa sehingga kau dapat membagi antara porsi da’wahmu dengan akademismu. Ingatlah wahai saudaraku, yang kau perjuangkan bukanlah acara-acara yang tertulis dalam buku agenda LDK atau buku agenda ROHISmu.
Saudaraku, perjuangkanlah seluruh agenda da’wah di LDK atau ROHISmu. Namun, berjuanglah juga di bidang ilmu dunia yang kau kuasai karena di luar sana banyak orang yang lebih membutuhkan kontribusimu dibandingkan dengan ceramahmu.