Terkadang,
kita berfikir bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang besar kita harus menjadi
orang besar. Kita menganggap bahwa dengan menjadi orang yang berkedudukan
tinggi ataupun memiliki figuritas yang besar dapat menghasilkan pengaruh yang
besar dan dapat mempengaruhi orang lain. Hal ini mungkin memang penting, tapi
apakah ini menajdi yang utama? Dalam da’wah kita sering berucap bahwa kita
harus menjadi seorang yang memiliki kedudukan tinggi jika da’wah kita mau
didengar. Tapi, terkadang hal ini terlalu diutamakan sehingga kita rela
mengorbankan segalanya demi merebut kekuasaan atau pengaruh bahkan terhadap hal
paling fundamental yakni ibadah kita.
Tidak
dipungkiri bahwa dengan kekuasaan kita memang bisa mempengaruhi seseorang.
Tapi, apakah itu menjadi sesuatu yang melekat? Apakah ketika kekuasaan itu hilang
orang yang terpengaruh terhadap kita tetap mengikuti kita? Saudaraku, Islam
tidak dibangun atas sebuah doktrinasi ataupun paksaan (Q.S 2 : 256) tetapi
Islam dibangun atas keimanan yang kuat, Tauhid yang menyeluruh, dan tentunya
punya sebuah hikmah dalam penyampaiannya. Rasulullah Salallahu 'alaihi wa
sallam mengajarkan kepada kita bahwa beliau membangun masyarakat Islam dari
bawah bagaimana beliau membina sebuah masyarakat menjadi sebuah masyarakat yang
kuat dari segi keimanan dan ketaqwaan. Suatu hari melalui pamannya Abu Thalib beliau
pernah ditawari 3 hal oleh orang kafir Quraisy wanita, tahta ,dan harta. Namun,
beliau hanya menjawab “wahai pamanku, seandainya mereka memberikan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku tapi bila tebusannya adalah da’wah
maka aku tidak akan menerimanya”.
Bukan
hanya tentang sebuah kekuasaan, tetapi juga sebuah figuritas. Terkadang kita
juga mengorbankan segalanya demi meraih figuritas. Berapa banyak orang yang
rela meninggalkan identitas keislamannya sehingga ia rela membaur secara
berlebihan untuk mendapatkan sebuah figuritas di suatu golongan. Padahal,
apakah figuritas harus didapat dengan cara berbaur berlebihan? Bukankah
Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam pun menjadi publik figur tanpa harus
mengorbankan identitasnya sebagai seorang Muslim? Apakah ini yang kita cari?
Kita sedang mencari kekuasaan dan popularitas atau da’wah dan ridho Allah Subahanallahu
wa Ta'ala? Ketahuilah saudaraku, jika kita beranggapan bahwa da’wah kita tidak
diterima hanya karena kita tidak memiliki kekuasaan itu adalah sebuah hal yang
tidak pantas sebab dimana pun posisi kita, kita wajib berda’wah. Begitu juga
dengan figuritas jangan pernah beranggapan bahwa figuritas hanya bisa di dapat
dengan membaur secara berlebihan sampai meninggalkan identitas kita sebagai
muslim. Karena figur seorang muslim jauh lebih baik dari itu semua. Kenapa kita
tidak menjadi seorang muslim sejati saja seperti yang dilakukan Rasululllah Salallahu
'alaihi wa sallam, menjadi seorang yang jujur, tepat waktu, ramah, dermawan
dll. Bukankah ini jauh lebih tepat?
Sejarah
Islam telah mengajarkan kita bahwa jumlah, kekuasaan, dan kekuatan tidak akan
berguna tanpa adanya pertolongan Allah Subahanallahu wa Ta'ala. Mulai dari
kisah Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam yang telah saya ceritakan di atas,
kemudian kisah beliau ketika perang Hunain hingga dikisahkan dalam Q.S 9 : 25,
dilanjutkan pada sebuah kisah di zaman Khalifah Umar bin Khatab Radiyallahu
Anhu ketika beliau memecat Khalid bin Walid sebagai panglima perang diakibatkan
pada pasukan kaum muslim mulai muncul bibit-bibit kemusyrikan yang menganggap
bahwa jika panglimanya adalah Khalid bin Walid maka pasukan akan selalu menang,
serta yang terakhir adalah ketika pasukan Muhammad Al-fatih berhasil merebut
Konstatinopel dan Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya sebagai
sebaik-baik panglima dan pasukannya sebaik-baik pasukan. Sejarah selalu
berulang dimana kekuatan keimanan selalu menang.
Lantas
bagaimana hal ini bisa muncul diantara kita? Mungkin sebuah pertanyaan ini akan
bisa menjawab. “Pada fasa apa kaum muslim memiliki kemajuan pesat atau bisa
dikatakan paling berjaya?” mungkin banyak diantara kita yang menjawab pada fasa
Bani Abasyiah saat pengetahuan maju atau saat Turki Utsmani ketika kita menjadi
sebuah kekuatan yang amat ditakuti. Tapi, jawaban yang paling tepat adalah fasa
Rasulullah Salallahu 'alaihi wa sallam karena pada saat itulah tercipta
generasi terbaik yang nyaris tak mungkin terulang lagi. Selama ini kita
beranggapan bahwa suksesnya da’wah adalah ketika kita berhasil meraih kemajuan
teknologi ataupun meraih sebuah kekuasaan. Itu semua sebenarnya adalah buah
dari tujuan da’wah yang sebenarnya yakni menciptakan generasi terbaik. Wallahu ‘alam.
Semoga ini bisa menjadi renungan bagi penulis.
wah,wah, wah
BalasHapuspanjang bet men, hehehe
BalasHapusmantab