Muwashaffat Muslim

Muwashaffat Muslim
Assalamu'alaikum wr.wb

Minggu, 29 Desember 2013

Jagalah Saudaramu Ukhti (Teguran bagi para akhawat)

Sebelum membahas mengenai inti dari pembahasan, saya ingin terlebih dahulu mendefinisikan akhawat. Siapa kah mereka? Apakah sesosok perempuan yang menggunakan jilbab 'rapih'. Apakah seorang aktivis da'wah kampus? Atau? Sekali lagi saya mendefinisikan kata akhawat agar tidak terjadi kerancuan dalam tulisan saya ini dan mungkin juga meluruskan pengertian yang salah mengenai kata akhawat. Sepengetahuan saya, yang namanya akhawat ya selain ikhwan, artinya semua perempuan baik yang berjilbab maupun tidak, baik yang berjilbab rapih (syar'i) maupun yang jilbabnya hanya sebagai penutup kepala -kadang disebut ikhwit, sejujurnya saya juga baru mendengar kosa kata ini-, baik yang aktivis da'wah maupun aktivis lain. Nah, jadi yang dimaksud akhawat disini adalah selain ikhwan.

Berawal dari kisah nyata yang mendasari tulisan ini dan mungkin bisa menjadi sebuah pelajaran bagi kita semua. 

Kisah 1  

Suatu hari, disebuah kepengurusan LDK ada seorang ikhwan yang sebut saja bernama Dhika. Dhika cukup terkenal di kalangan pengurus, wajar saja notabene ia merupakan salah satu petinggi di LDK tersebut tak hanya menjadi petinggi, Dhika juga merupakan anak yang tergolong pintar di kampusnya sehingga wajar saja jika banyak orang yang minta diajarkan mengenai suatu mata kuliah termasuk para akhawat di LDK tersebut. 

Seorang akhawat bertanya, itu menjadi sebuah hal yang biasa bagi dirinya. Kalkulus, fisika, maupun kimia bisa dia jawab dengan baik. Namun, suatu hari ada sebuah pertanyaan aneh yang dilontarkan salah seorang akhawat yang notabene juga merupakan pengurus di LDK tersebut, pertanyaan mengenai fiqih wanita. Sontak Dhika kaget kemudian balik bertanya, "Kenapa tidak bertanya ke murabbi antum ukhti ?" kemudian sang akhawat menjawab "Habis murabbi saya bla.. bla.. bla..", yang intinya hujjah dari sang murabbi tidak kuat dan penjelasannya cenderung memaksa dan tidak nyambung sehingga sang akhawat tidak merasa pertanyaannya terjawab. Dhika pun tidak mau menjawab bukan hanya karena canggung tetapi memang tidak tahu.
Beberapa hari kemudian, Dhika mendapat sebuah sms dari akhawat yang berbeda. Isinya "Dhik, mau nanya tapi lewat e-mail aja ya ..". Dhika pun menjawab "Tidak masalah, santai aja ama saya. Kalau sudah dikirim sms aja". Beberapa hari e-mail dari sang akhawat tiba-tiba sms kembali masuk dari sang akhawat "Ma'af komputer tidak bisa dipake, jadi nanya ya pake surat aja ya..". "Ok lah, ga jadi masalah" jawab Dhika. Setelah itu, sang akhawat memberikan sebuah kertas ke Dhika. Sebelum kertas itu dibuka, ternyata di depannya ada sebuah tulisan "Pastikan ketika Anda membuka surat ini, tidak ada siapa pun yang melihatnya". Dhika pun kemudian membuka surat itu huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, halaman demi halaman (ada sekitar 4 halaman) ia baca, setelah membaca lebih dari setengah isi surat ia baru menyadari dalam hatinya ia berkata "Et dah, ni akhawat curhat soal keluarganya lah..". Sebuah kalimat yang menarik baginya "Ma'af ya, aku ga tau harus cerita sama siapa lagi, aku udah cerita ke teman-teman ku tapi bla bla bla" intinya jawaban temannya tidak membantu dan hanya bikin pusing, dan sebuah kalimat terakhir "Aku harap Dhika bisa bantu. Oh ya, jangan kasih tau siapa-siapa ya...".

Dhika pun geleng-geleng, ni akhawat masalahnya minta diselesaikan tapi ga boleh ada yang tau. Saya kan ikhwan, emang bisa seorang ikhwan menyelesaikan masalah akhawat? Akhirnya, Dhika pun membalas surat sang akhawat yang inti suratnya adalah meminta sang akhawat untuk banyak mendekatkan diri kepada Allah dan menceritakan sebuah kisah perjuangan seseorang yang tak pernah menyerah. Beberapa hari setelah menyerahkan surat balasan, sms masuk dari sang akhawat yang intinya sangat berterima kasih atas jawabannya. Dhika kemudian bingung karena ia merasa tidak membantu begitu banyak mengenai masalah sang akhawat.

Sebuah Pelajaran

Saudariku, sungguh temanmu sangat membutuhkanmu maka seharusnya engkau ada untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Kita lihat dari akhawat pertama bagaimana seharusnya jika sang murabbi dari akhawat tidak mengetahui hendaknya tak memaksakan jawaban, menunda jawaban untuk bertanya ke seseorang yang lebih tahu lebih baik dibandingkan dengan memaksakan jawaban. Begitu juga dengan akhawat kedua, saudariku sungguh ia membutuhkan jawabanmu membutuhkan keseriusanmu dalam menyelesaikan masalah maka jawablah masalah itu dengan sebuah kesungguhan bantulah ia, jangan biarkan ia sendiri.

Sebagai seorang ikhwan turut berpesan bagi kalian para akhawat. Janganlah kalian menceritakan kegalauan kalian di status facebook kalian, atau melalui tweet kalian, atau hal lain yang bisa diakses secara umum. Kalian tidak tahu ikhwan yang ada diluar sana pun dapat tutur dalam kegaluan kalian. Cukuplah Allah subahanahu wa Ta'ala sebagai tempat curhat kalian. Sungguh, sekuat apapun seorang ikhwan membentengi diri, namun jika akhawat tidak menjaga diri maka suatu saat benteng itu akan roboh. Jagalah diri kalian wahai saudariku.

Buat para ikhwan -saya juga-, dekatkanlah selalu diri kita kepada Allah subahanahu wa Ta'ala. Hindarilah terlalu banyak interaksi yang dapat menjerumuskanmu.


Wallahu a'lam bisshawab

Minggu, 22 Desember 2013

Belajar Dari Masa Lalu, untuk Masa Depan Lebih Baik

Sejarah bukan merupakan sebuah kisah yang hanya dijadikan dongeng orang-orang dahulu, atau hanya dijadikan sebuah kenangan dalam mengingat masa kejayaan. Setiap peristiwa yang telah berlalu memiliki makna tersendiri jangan pernah mengira bahwa peristiwa yang sudah lewat hanya bisa ditangisi tanpa adanya pelajaran yang dapat diambil.

Kita mengenal bahwa Islam dahulu pernah memiliki sejarah yang gemilang, tidak hanya dari segi kemajuan ilmu pengetahuan, luasnya wilayah, harta yang melimpah. Namun, hal yang paling penting adalah kuatnya nilai-nilai keislaman yang terpatri di dalam dada setiap masyarakatnya sehingga tidak heran ulama sangat dihargai dan keputusannya mejadi sebuah landasan dalam menjalankan sebuah negara.Cerita diwabah ini mungkin dapat dijadikan sebuah renungan dan pelajaran bagi kita, dan bagi da'wah kita. Sebuah kisah nyata yang di adopsi dari sejarah umat Islam.

Kita, sebagai umat Islam tentu mengenal sosok Muhammad Al-Fatih seorang pemuda yang berasal dari kesultanan Turki Utsmaniyah yang berhasil menaklukkan kota Konstatinopel (dikenal kuat tembok pertahanannya selama 800 tahun ), atau shalahuddin Al-Ayubi seorang yang kembali merebut Baitul Maqdis ke tangan orang Muslim. Menjadi sebuah pertanyaan, adakah diantara kita yang mengenal Timur Lenk? Sebuah nama yang asing bagi telinga kita, siapa dia? Sedikit menceritakan tentang Timur Lenk, dia merupakan seorang raja dari dinasti Timuriyah yang berpusat di Samarqand (sebuah kota yang sekarang ada di Uzbekistan), dia berasal dari suku Barlas yang bercorak Turkistan. Nenek moyangnya merupakan orang kesayangan Jengis Khan.

Pada zaman kekuasaan Timur Lenk, terdapat 3 buah negara yang mengaku sebagai kesultanan muslim yang pertama adalah Turki Utsmaniyah yang berpusat di Edirne, Anatolia yang dipimpin oleh Sultan Bayazid I. Kesultanan Mamluk yang berpusat di Kairo, Mesir. Terakhir adalah kesultanan Timur Lenk. Menjadi sebuah pertanyaan baru, ketika kedua kesultanan (Utsmaniyah dan Mamluk) begitu terkenal namun tidak dengan kesultanan Timuriyah. Kenapa itu bisa terjadi? Jika dianalisis, kesultanan Timuriyah merupakan negara terkuat saat itu.

Hal ini bisa dijawab karena kesultanan Timuriyah tidak ubahnya seperti pasukan mongol yang menghancurkan Baghdad. Imam As-Suyuthi menganggap Timur Lenk sebagai bencana bagi umat Muslim abad 8. Timuriyah menganggap bahwa di dunia ini harus dipimpin oleh satu orang, dan menurutnya dialah yang pantas sehingga dia melakukan ekspansi ke daerah kesultanan Utsmaniyah dan menghancurkannya, saat itu Sultan Bayazid I pun ditangkap. Hal ini merupakan sebuah ironi bagaimana mungkin seorang muslim menyerang sesamanya trlebih lagi tindakan pengrusakan yang dilakukan Timur Lenk sangat keji. itulah sebabnya mengapa Timur Lenk tidak pernah diakui sebagai pahlawan Islam.

Menjadi sebuah pelajaran bagi kita dimana sebuah kekuasaan tidak menjadi tujuan utama bagi dakwah. Para ulama sangat berhati-hati dalam menetapkan ini, tidak ada gunanya kekuasaan dakwah hanya bertujuan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Sebuah kisah lagi, kali ini tentang Muhammad Al-Fatih.

Tidak dipungkiri bahwa sosok Muhammad Al-Fatih menjadi inspirasi bagi banyak umat Muslim, namun pernah suatu ketika beliau berbuat kesalahan. Saat itu, beliau telah menguasai Konstantinopel. Pada suatu hari, beliau meminta pengawalnya untuk memberikan sebuah surat keputusan kepada Imam Al-Qurani rahimahullah (Mufti Kesultanan Utsmaniyah) sebagai tanda restu untuk dilakukannya sebuah aturan. Ketika Imam Al-Qurani rahimahullah membaca surat tersebut, beliau melihat adanya sebuah pelanggaran pada syariat Allah subahanahu wa Ta'ala, maka Imam Al-Qurani rahimahullah merobek surat keputusan tersebut dan meminta pengawal mengatakan kepada sultan untuk merubah surat keputusannya itu. Ketika Muhammad Al-Fatih mengetahui perlakuan dari Imam Al-Qurani rahimahullah, sang sultan justru murka kepada sang Imam dan tidak mau meralat keputusannya. Ketika mendengar Muhammad Al-Fatih tak mau merubahnya, maka Imam Al-Qurani rahimahullah pun pergi meninggalkan Kesultanan Utsmaniyah, beliau pergi ke Kesultanan Mamluk. Beberapa waktu kemudian, sang sultan pun mengetahui kesalahannya dan meminta sang Imam untuk balik ke kesultanannya dan sang Imam pun mema'afkan Muhammad Al-Fatih.

Sungguh sebuah keteguhan dari seorang ulama, beliau tak silau terhadap kekuasaan yang dimiliki Muhammad Al-Fatih. Hal ini harusnya menjadi sebuah pelajaran bagi kita, bahwa dakwah bukan untuk penyelesaian sebuah misi duniawi (baca : proker), tetapi merupakan sebuah jalan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Itulah dakwah kita, parameternya bukan selesainya proker, teraihnya sebuah misi dunia tapi merupakan tercapainya sebuah keridhoan Allah subahanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bisshawab
Sumber
1. Tarikh Khulafa, Imam As-Suyuthi
2. Cobaan Para Ulama, Syaikh Syarif Abdul Aziz
3. Sulthan Muhammad AL-Fatih, Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
4. Ensiklopedi Sejarah Islam, Tim Riset dan Studi Islam Mesir