Muwashaffat Muslim

Muwashaffat Muslim
Assalamu'alaikum wr.wb

Selasa, 11 Agustus 2015

Hambatan Menikah Bagi Mahasiswa Selain Biaya

Banyak yang membahas mengenai hambatan menikah yang selalu erat hubungannya dengan maisyah (pendapatan). Tapi kali ini, agar anti mainstream saya akan membahas dengan adat istiadat atau kebiasaan yang akan menjadi sebuah hambatan baru bagi teman-teman yang akan menikah. 

Kenapa saya membahas hal ini? Berawal dari sebuah pengalaman pribadi dalam hambatan menikah, sehingga ingin sharing terhadap teman-teman yang mungkin akan menghadapi masalah yang sama.

Ketika mengajukan wacana tentang pernikahan kepada orang tua, biasnya akan dihujani berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya sangat berhubungan dengan kebiasaan yang muncul di masyarakat sekarang ini. Beberapa hal yang akan dibahas antara lain :

1. Masih Muda

Ya, masih muda. Begitulah anggapan bagi kita. Saat ini, masih banyak yang menganggap umur 20 tahun belum mandiri, masih dianggap anak kecil. Apakah hal ini berlaku umum?

Muda atau tua merupakan sebuah kepastian dan tentunya dapat ditentukan hanya dengan melihat tanggal lahir dari seseorang. Namun, kedewasaan adalah suatu pilihan. Kedewasaan ditentukan oleh sikap dan sangat berbeda dengan usia. Seseorang yang lebih tua belum tentu bersikap dewasa. Menikah itu masalah kedewasaan, banyak pasangan yang dari segi usia sudah matang namun secara kedewasaan belum matang sehingga ketika menikah seolah-olah tidak siap dan malah sering cekcok dan berujung pada perceraian.

Sebelum membahas lebih jauh, apasih yang menunjukkan sikap kedewasaan? Menurutku, dewasa itu adalah mampu mempertanggungjawabkan semua pilihan yang telah diambil. Memutuskan untuk menikah berarti memutuskan untuk menerima tanggungjawab sebagai seorang suami/istri dan bersiap menerima segala konsekuensinya. Pastikan ketika dirimu memutuskan untuk mengambil pilihan menikah, engkau telah siap dan harus siap untuk menaggung semuanya. Sebagai seorang suami harus mampu memberikan nafkah bagi seorang istri dan sebagai seorang istri harus bersedia diatur oleh suami dan menjalankan segala kewajiban rumah tangganya, semua konsekuensi tersebut harus diterima dan harus engkau pikirkan sebelum menikah.

2. Belum Lulus Kuliah

Kuliah seperti menjadi sebuah pekerjaan rutin yang harus dilewati oleh seluruh anak yang lahir setelah tahun 70-an. Ya, gelar sarjana menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan juga menjadi sebuah modal untuk mencari uang. Tanpa gelar tersebut, seseorang seolah-olah menjadi terbelakang dan dianggap tak terdidik sehingga meragukan untuk diajak bekerja sama baik sebagai rekan bisnis maupun sebagai karyawan.  Sebuah hal yang wajar jika menunda sebuah pernikahan disebabkan faktor ini. Orang tua sangat mengkhawatirkan nasib anaknya jika ternyata pernikahan malah menghambat kegiatan akademis sang anak bahkan membuat dia tidak bisa menyelesaikan studinya. Namun, tidak semua orang seperti itu, seseorang yang memutuskan menikah haruslah mampu mengatur segala kegiatannya. Aktifitas sebagai seorang mahasiswa seharusnya tidak menjadi hambatan dalam menjalani pernikahan hal tersebut disebabkan aktifitas sebagai mahasiswa lebih ringan dibandingkan sebagai seorang karyawan atau pekerjaan lainnya. Jika menjadi karyawan saja sanggup menjalani pernikahan, maka seorang mahasiswa seharusnya dapat menjalani hal tersebut dengan lebih baik.

Hilangnya fokus mahasiswa yang telah menikah dalam menjalankan akademisnya mungkin disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah. Hal ini tentu saja bisa di atasi jika mahasiswa tersebut ternyata terbiasa dengan pengaturan aktifitas yang banyak. Misalnya seorang mahasiswa yang terbiasa mencari uang dan berorganisasi di sela-sela aktifitas kuliahnya tentunya akan bisa lebih mengatur waktu dibandingkan seorang karyawan yang memiliki jam kerja selalu sama tiap harinya sehingga sungguh sangat disayangkan jika ternyata hal ini dijadikan alasan untuk menunda pernikahan.

Pasangan hidup untuk setiap orang akan memberikan rasa nyaman dan sebagai pelipur lara di sela-sela kesibukannya. Tentunya mahasiswa yang telah mampu mencari nafkah sendiri akan lebih terbantu dengan adanya pasangan hidup sebab di sela-sela kesibukannya akan ada seseorang yang mampu menghiburnya sehingga pernikahan bukanlah sesuatu yang menghambat melainkan menjadi sebuah katalis dalam proses akademik itu sendiri

3. Punya Rumah Dulu !

Aduh, ini sih berat. Punya rumah dalam waktu singkat tentunya menjadi pekerjaan yang sulit bagi seorang ikhwan, bagaimana tidak. Harga rumah yang tiap tahun mengalami kenaikan tentunya menjadi beban yang berat bagi seorang ikhwan yang akan menikah. Namun, apakah hal ini sangat ditekankan sehingga menunda pernikahan? 

Jika ditanya, “ketika sudah menikah ingin tinggal dimana?” mungkin jawaban kebanyakan orang adalah ngontrak. Tentu sangat wajar jika pasangan yang baru menikah tinggal di rumah kontrakan, apalagi kedua pasangan tersebut masih berstatus sebagai mahasiswa. Bagi saya, mengontrak bukanlah sebuah aib ataupun kesalahan ketika telah menikah. Tinggal dirumah kontrakan yang sederhana bukanlah sebuah hal yang harus dihindari bahkan untuk suatu hal perlu dilakukan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain :

   a. Melatih Rasa Saling Menerima 

Tak dipungkiri bahwa kehidupan rumah tangga pasti mengalami pasang-surut terutama dalam hal pendapatan sang suami. Suatu keluarga yang terbiasa hidup mewah mungkin akan sulit menerima jika harus hidup sederhana. Ketika tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana, maka itu melatih sebuah pasangan untuk tinggal dalam kehidupan sederhana -bukan berarti miskin- sehingga jika suatu saat kehidupan pernikahan mereka mengalami proses surut, mereka telah terlatih menghadapinya dan bisa jadi itu hanya menjadi sebuah nostalgia ketika harus kembali tinggal di rumah kontrakan. 

   b. Menemukan Lingkungan yang Cocok

Tempat tinggal merupakan hal yang penting untuk dipilih. Hal ini disebabkan lingkungan tempat tinggal akan memengaruhi kehidupan keluarga terutama mengenai pendidikan anak. Tinggal di rumah yang mengontrak menjadi sebuah pilihan untuk melakukan pengecekan terhadap lingkungan sekitar sehingga ketika membeli rumah, lingkungan memang mendukung.  

4. Punya Pekerjaan Tetap

Mungkin pekerjaan tetap disini adalah menjadi karyawan, sebab sepertinya tidak ada pekerjaan tetap selain menjadi PNS. Kenapa? Hal ini disebabkan jika menjadi karyawan dalam sebuah perusahaan pun bukan menjadi jaminan bahwa tidak akan di PHK, karena sebuah perusahaan bisa saja bangkrut sewaktu-waktu apalagi jika perusahaan tersebut sangat dipengaruhi iklim investasi yang ada di suatu negara. Hal ini juga menjadi masalah besar jika ternyata sang ikhwan memilih untuk melakukan bisnis (membuat Start Up misalnya) sebab ini merupakan pekerjaan yang belum tetap dan menjadi hal baru bagi orang tua akhwat.  

Sebenarnya, apapun pekerjaannya asalkan halal bukan menjadi sebuah masalah. Menurutku pekerjaan tetap maupun penghasilan tetap bukanlah hal yang penting, tetapi yang terpenting adalah tetap berpenghasilan. Kesungguhan dalam berusaha akan menghasilkan sebuah keberhasilan sehingga tidak perlu lagi menjadi masalah sebab suatu saat hal tersebut akan teratasi jika kita mau berusaha sungguh-sungguh. 

Belum Membahagiakan Orang Tua 

Sebuah pertanyaan yang cukup menyentak. Jika ternyata belum membahagiakan orang tua, maka mungkin kita termasuk anak durhaka yang selalu menyusahkannya. Menjadi masalah ternyata yang melontarkan hal ini adalah orang lain di luar orang tua kita. Ternyata pernyataan tersebut hanya dilontarkan oleh orang lain yang tentunya dihasilkan dari sebuah presepsi belaka.

Dalam Islam, seorang istri wajib mendahulukan suaminya dibandingkan orang tuanya sedangkan seorang suami tidak lepas baktinya dari kedua orang tuanya. Namun, apakah hal ini menghalangi seorang istri untuk berbakti kepada orang tuanya? Tentu tidak. Hal ini disebabkan ketika seorang laki-laki telah menikah, maka orang tua dari istri akan menjadi orang tua bagi suami sehingga seorang suami juga wajib berbakti kepada mertua. Hal ini menyebabkan bakti seorang perempuan tidak akan terputus ketika telah menikah, namun malah terwakilkan oleh seorang suami

Wallahu a’lam bisshawab

Senin, 10 Agustus 2015

Metode, SIstem atau Kaidah?

Pembahasan kali ini akan membahas mengenai Metode, Sistem, dan Kaidah. Kenapa perlu membahas hal tersebut? Hal ini dilandasi oleh pengalaman pribadi dan sebagai hasil sharing agar orang-orang yang membaca ini dapat bertindak lebih baik dari pada saya terutama dalam pengelolaan SDM. Oke, lanjut ke pambahasan :

Definisi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketiga kata tersebut, lebih baik kita jabarkan definisi ketiga kata tersebut :

Menurut KBBI

Metode  : cara teratur yg digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan

Sistem : perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas

Kaidah : rumusan asas yg menjadi hukum; aturan yg sudah pasti; patokan; dalil

Dari definisi ketiga kata tersebut saja sudah terlihat sangat berbeda, sehingga penggunaannya dalam pengelolaan SDM juga sangat berbeda dampaknya. Untuk memudahkan, saya akan mendefinisikan ketiga kata tersebut secara lebih sederhana dan tentunya berkaitan dengan pengelolaan SDM.

Dalam pegelolaan SDM, metode  merupakan sebuah tata cara yang digunakan oleh orang/ sekelompok orang yang hanya digunakan untuk kondisi tertentu dan waktu tertentu. Sedangkan jika sistem merupakan sebuah kumpulan tata cara (metode) digunakan untuk waktu yang lama dan hanya bergantung pada kondisi. Lain halnya dengan kaidah, kaidah tidak bergantung pada kondisi maupun maupun waktu sebab kaidah merupakan hal dasar yang tentunya tak akan berubah.  

Ilustrasi mungkin akan mempermudah definisi di atas.

Misalkan sebuah perusahaan yang sedang mengalami masalah, seorang CEO yang baik haruslah mengatasi masalah tersebut menggunakan metode tertentu (disinilah metode berperan). Jika metode yang digunakan berhasil mengatasi masalah tersebut, maka CEO itu telah menciptakan sebuah metode yang cocok.

Namun, ketika masalah tersebut telah selesai, apakah CEO tersebut telah menciptakan sistem yang baik? Hal ini dapat terlihat setelah CEO tersebut berganti. Jika sistem belum baik, maka masalah yang sama akan muncul bahkan lebih parah. Hal ini disebabkan belum terciptanya sistem yang baik sehingga seiring berjalannya waktu, maka metode tersebut akan ditinggalkan.

Sistem yang telah berhasil dibentuk pun tidak lepas dari masalah. Hal ini disebabkan masalah yang datang dapat merupakan masalah yang kompleks dan sehingga kondisi sebelumnya pun tak sesuai dan terkadang diperlukan perubahan sistem untuk mengatasi masalah tersebut. Jika seorang CEO telah menerapkan kaidah dalam melakukan sebuah transformasi perusahaan, maka perubahan sistem dari sebuah perusahaan untuk mengatasi masalah bukan merupakan masalah yang besar.





Dampak

Bagaimana jika seorang CEO hanya sebatas menganalisis metode dan melupakan pembentukan sistem dan tak menganalisis kaidah?

Metode sangat jelas, mudah dicontek, dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Ini dapat terlihat dengan maraknya buku-buku yang membahas metode dan laris manis. Namun, pelaksanaan metode tidak akan menghasilkan hasil yang sama untuk setiap individu. Hal ini disebabkan metode hanya berlaku untuk kondisi dan waktu yang tepat sehingga tak jarang orang banyak yang tidak mendapatkan hasil yang diharapkan meskipu telah menggunakan metode yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengelola SDM, perlu banyak belajar dari berbagai jenis kasus dan tentunya bukan hal yang sebentar. Hal ini bertujuan agar kita bisa menganalisis kaidah sehingga dapat diterapkan dibanyak kasus tidak hanya menganalisis dan menerapkan sebuah metode.