Muwashaffat Muslim

Muwashaffat Muslim
Assalamu'alaikum wr.wb

Selasa, 11 Agustus 2015

Hambatan Menikah Bagi Mahasiswa Selain Biaya

Banyak yang membahas mengenai hambatan menikah yang selalu erat hubungannya dengan maisyah (pendapatan). Tapi kali ini, agar anti mainstream saya akan membahas dengan adat istiadat atau kebiasaan yang akan menjadi sebuah hambatan baru bagi teman-teman yang akan menikah. 

Kenapa saya membahas hal ini? Berawal dari sebuah pengalaman pribadi dalam hambatan menikah, sehingga ingin sharing terhadap teman-teman yang mungkin akan menghadapi masalah yang sama.

Ketika mengajukan wacana tentang pernikahan kepada orang tua, biasnya akan dihujani berbagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut biasanya sangat berhubungan dengan kebiasaan yang muncul di masyarakat sekarang ini. Beberapa hal yang akan dibahas antara lain :

1. Masih Muda

Ya, masih muda. Begitulah anggapan bagi kita. Saat ini, masih banyak yang menganggap umur 20 tahun belum mandiri, masih dianggap anak kecil. Apakah hal ini berlaku umum?

Muda atau tua merupakan sebuah kepastian dan tentunya dapat ditentukan hanya dengan melihat tanggal lahir dari seseorang. Namun, kedewasaan adalah suatu pilihan. Kedewasaan ditentukan oleh sikap dan sangat berbeda dengan usia. Seseorang yang lebih tua belum tentu bersikap dewasa. Menikah itu masalah kedewasaan, banyak pasangan yang dari segi usia sudah matang namun secara kedewasaan belum matang sehingga ketika menikah seolah-olah tidak siap dan malah sering cekcok dan berujung pada perceraian.

Sebelum membahas lebih jauh, apasih yang menunjukkan sikap kedewasaan? Menurutku, dewasa itu adalah mampu mempertanggungjawabkan semua pilihan yang telah diambil. Memutuskan untuk menikah berarti memutuskan untuk menerima tanggungjawab sebagai seorang suami/istri dan bersiap menerima segala konsekuensinya. Pastikan ketika dirimu memutuskan untuk mengambil pilihan menikah, engkau telah siap dan harus siap untuk menaggung semuanya. Sebagai seorang suami harus mampu memberikan nafkah bagi seorang istri dan sebagai seorang istri harus bersedia diatur oleh suami dan menjalankan segala kewajiban rumah tangganya, semua konsekuensi tersebut harus diterima dan harus engkau pikirkan sebelum menikah.

2. Belum Lulus Kuliah

Kuliah seperti menjadi sebuah pekerjaan rutin yang harus dilewati oleh seluruh anak yang lahir setelah tahun 70-an. Ya, gelar sarjana menjadi sebuah kebanggaan tersendiri dan juga menjadi sebuah modal untuk mencari uang. Tanpa gelar tersebut, seseorang seolah-olah menjadi terbelakang dan dianggap tak terdidik sehingga meragukan untuk diajak bekerja sama baik sebagai rekan bisnis maupun sebagai karyawan.  Sebuah hal yang wajar jika menunda sebuah pernikahan disebabkan faktor ini. Orang tua sangat mengkhawatirkan nasib anaknya jika ternyata pernikahan malah menghambat kegiatan akademis sang anak bahkan membuat dia tidak bisa menyelesaikan studinya. Namun, tidak semua orang seperti itu, seseorang yang memutuskan menikah haruslah mampu mengatur segala kegiatannya. Aktifitas sebagai seorang mahasiswa seharusnya tidak menjadi hambatan dalam menjalani pernikahan hal tersebut disebabkan aktifitas sebagai mahasiswa lebih ringan dibandingkan sebagai seorang karyawan atau pekerjaan lainnya. Jika menjadi karyawan saja sanggup menjalani pernikahan, maka seorang mahasiswa seharusnya dapat menjalani hal tersebut dengan lebih baik.

Hilangnya fokus mahasiswa yang telah menikah dalam menjalankan akademisnya mungkin disibukkan dengan kegiatan mencari nafkah. Hal ini tentu saja bisa di atasi jika mahasiswa tersebut ternyata terbiasa dengan pengaturan aktifitas yang banyak. Misalnya seorang mahasiswa yang terbiasa mencari uang dan berorganisasi di sela-sela aktifitas kuliahnya tentunya akan bisa lebih mengatur waktu dibandingkan seorang karyawan yang memiliki jam kerja selalu sama tiap harinya sehingga sungguh sangat disayangkan jika ternyata hal ini dijadikan alasan untuk menunda pernikahan.

Pasangan hidup untuk setiap orang akan memberikan rasa nyaman dan sebagai pelipur lara di sela-sela kesibukannya. Tentunya mahasiswa yang telah mampu mencari nafkah sendiri akan lebih terbantu dengan adanya pasangan hidup sebab di sela-sela kesibukannya akan ada seseorang yang mampu menghiburnya sehingga pernikahan bukanlah sesuatu yang menghambat melainkan menjadi sebuah katalis dalam proses akademik itu sendiri

3. Punya Rumah Dulu !

Aduh, ini sih berat. Punya rumah dalam waktu singkat tentunya menjadi pekerjaan yang sulit bagi seorang ikhwan, bagaimana tidak. Harga rumah yang tiap tahun mengalami kenaikan tentunya menjadi beban yang berat bagi seorang ikhwan yang akan menikah. Namun, apakah hal ini sangat ditekankan sehingga menunda pernikahan? 

Jika ditanya, “ketika sudah menikah ingin tinggal dimana?” mungkin jawaban kebanyakan orang adalah ngontrak. Tentu sangat wajar jika pasangan yang baru menikah tinggal di rumah kontrakan, apalagi kedua pasangan tersebut masih berstatus sebagai mahasiswa. Bagi saya, mengontrak bukanlah sebuah aib ataupun kesalahan ketika telah menikah. Tinggal dirumah kontrakan yang sederhana bukanlah sebuah hal yang harus dihindari bahkan untuk suatu hal perlu dilakukan. Hal ini disebabkan beberapa hal, antara lain :

   a. Melatih Rasa Saling Menerima 

Tak dipungkiri bahwa kehidupan rumah tangga pasti mengalami pasang-surut terutama dalam hal pendapatan sang suami. Suatu keluarga yang terbiasa hidup mewah mungkin akan sulit menerima jika harus hidup sederhana. Ketika tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana, maka itu melatih sebuah pasangan untuk tinggal dalam kehidupan sederhana -bukan berarti miskin- sehingga jika suatu saat kehidupan pernikahan mereka mengalami proses surut, mereka telah terlatih menghadapinya dan bisa jadi itu hanya menjadi sebuah nostalgia ketika harus kembali tinggal di rumah kontrakan. 

   b. Menemukan Lingkungan yang Cocok

Tempat tinggal merupakan hal yang penting untuk dipilih. Hal ini disebabkan lingkungan tempat tinggal akan memengaruhi kehidupan keluarga terutama mengenai pendidikan anak. Tinggal di rumah yang mengontrak menjadi sebuah pilihan untuk melakukan pengecekan terhadap lingkungan sekitar sehingga ketika membeli rumah, lingkungan memang mendukung.  

4. Punya Pekerjaan Tetap

Mungkin pekerjaan tetap disini adalah menjadi karyawan, sebab sepertinya tidak ada pekerjaan tetap selain menjadi PNS. Kenapa? Hal ini disebabkan jika menjadi karyawan dalam sebuah perusahaan pun bukan menjadi jaminan bahwa tidak akan di PHK, karena sebuah perusahaan bisa saja bangkrut sewaktu-waktu apalagi jika perusahaan tersebut sangat dipengaruhi iklim investasi yang ada di suatu negara. Hal ini juga menjadi masalah besar jika ternyata sang ikhwan memilih untuk melakukan bisnis (membuat Start Up misalnya) sebab ini merupakan pekerjaan yang belum tetap dan menjadi hal baru bagi orang tua akhwat.  

Sebenarnya, apapun pekerjaannya asalkan halal bukan menjadi sebuah masalah. Menurutku pekerjaan tetap maupun penghasilan tetap bukanlah hal yang penting, tetapi yang terpenting adalah tetap berpenghasilan. Kesungguhan dalam berusaha akan menghasilkan sebuah keberhasilan sehingga tidak perlu lagi menjadi masalah sebab suatu saat hal tersebut akan teratasi jika kita mau berusaha sungguh-sungguh. 

Belum Membahagiakan Orang Tua 

Sebuah pertanyaan yang cukup menyentak. Jika ternyata belum membahagiakan orang tua, maka mungkin kita termasuk anak durhaka yang selalu menyusahkannya. Menjadi masalah ternyata yang melontarkan hal ini adalah orang lain di luar orang tua kita. Ternyata pernyataan tersebut hanya dilontarkan oleh orang lain yang tentunya dihasilkan dari sebuah presepsi belaka.

Dalam Islam, seorang istri wajib mendahulukan suaminya dibandingkan orang tuanya sedangkan seorang suami tidak lepas baktinya dari kedua orang tuanya. Namun, apakah hal ini menghalangi seorang istri untuk berbakti kepada orang tuanya? Tentu tidak. Hal ini disebabkan ketika seorang laki-laki telah menikah, maka orang tua dari istri akan menjadi orang tua bagi suami sehingga seorang suami juga wajib berbakti kepada mertua. Hal ini menyebabkan bakti seorang perempuan tidak akan terputus ketika telah menikah, namun malah terwakilkan oleh seorang suami

Wallahu a’lam bisshawab

Senin, 10 Agustus 2015

Metode, SIstem atau Kaidah?

Pembahasan kali ini akan membahas mengenai Metode, Sistem, dan Kaidah. Kenapa perlu membahas hal tersebut? Hal ini dilandasi oleh pengalaman pribadi dan sebagai hasil sharing agar orang-orang yang membaca ini dapat bertindak lebih baik dari pada saya terutama dalam pengelolaan SDM. Oke, lanjut ke pambahasan :

Definisi

Sebelum membahas lebih jauh mengenai ketiga kata tersebut, lebih baik kita jabarkan definisi ketiga kata tersebut :

Menurut KBBI

Metode  : cara teratur yg digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan

Sistem : perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas

Kaidah : rumusan asas yg menjadi hukum; aturan yg sudah pasti; patokan; dalil

Dari definisi ketiga kata tersebut saja sudah terlihat sangat berbeda, sehingga penggunaannya dalam pengelolaan SDM juga sangat berbeda dampaknya. Untuk memudahkan, saya akan mendefinisikan ketiga kata tersebut secara lebih sederhana dan tentunya berkaitan dengan pengelolaan SDM.

Dalam pegelolaan SDM, metode  merupakan sebuah tata cara yang digunakan oleh orang/ sekelompok orang yang hanya digunakan untuk kondisi tertentu dan waktu tertentu. Sedangkan jika sistem merupakan sebuah kumpulan tata cara (metode) digunakan untuk waktu yang lama dan hanya bergantung pada kondisi. Lain halnya dengan kaidah, kaidah tidak bergantung pada kondisi maupun maupun waktu sebab kaidah merupakan hal dasar yang tentunya tak akan berubah.  

Ilustrasi mungkin akan mempermudah definisi di atas.

Misalkan sebuah perusahaan yang sedang mengalami masalah, seorang CEO yang baik haruslah mengatasi masalah tersebut menggunakan metode tertentu (disinilah metode berperan). Jika metode yang digunakan berhasil mengatasi masalah tersebut, maka CEO itu telah menciptakan sebuah metode yang cocok.

Namun, ketika masalah tersebut telah selesai, apakah CEO tersebut telah menciptakan sistem yang baik? Hal ini dapat terlihat setelah CEO tersebut berganti. Jika sistem belum baik, maka masalah yang sama akan muncul bahkan lebih parah. Hal ini disebabkan belum terciptanya sistem yang baik sehingga seiring berjalannya waktu, maka metode tersebut akan ditinggalkan.

Sistem yang telah berhasil dibentuk pun tidak lepas dari masalah. Hal ini disebabkan masalah yang datang dapat merupakan masalah yang kompleks dan sehingga kondisi sebelumnya pun tak sesuai dan terkadang diperlukan perubahan sistem untuk mengatasi masalah tersebut. Jika seorang CEO telah menerapkan kaidah dalam melakukan sebuah transformasi perusahaan, maka perubahan sistem dari sebuah perusahaan untuk mengatasi masalah bukan merupakan masalah yang besar.





Dampak

Bagaimana jika seorang CEO hanya sebatas menganalisis metode dan melupakan pembentukan sistem dan tak menganalisis kaidah?

Metode sangat jelas, mudah dicontek, dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Ini dapat terlihat dengan maraknya buku-buku yang membahas metode dan laris manis. Namun, pelaksanaan metode tidak akan menghasilkan hasil yang sama untuk setiap individu. Hal ini disebabkan metode hanya berlaku untuk kondisi dan waktu yang tepat sehingga tak jarang orang banyak yang tidak mendapatkan hasil yang diharapkan meskipu telah menggunakan metode yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengelola SDM, perlu banyak belajar dari berbagai jenis kasus dan tentunya bukan hal yang sebentar. Hal ini bertujuan agar kita bisa menganalisis kaidah sehingga dapat diterapkan dibanyak kasus tidak hanya menganalisis dan menerapkan sebuah metode.

Rabu, 22 Januari 2014

Islam Itu Menyeluruh dan Sempurna (1)

Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (Q.S Al-Fath : 28)

Puji syukur kepada Allah Subahanahu wa Ta'ala yang telah memberikan kita nikmat keimanan dan nikmat keislaman sehingga kita masih bisa merasakan indahnya islam merasakan nikmatnya shalat, sungguh tak dibayangkan apa jadinya kita tanpa kedua nikmat itu.

Saudaraku, kita mengetahui dan menyadari bahwa Islam itu Sempurna, Islam itu menyeluruh. Bukan hanya sekadar aturan ibadah, tetapi merupakan sebuah aturan kehidupan, tidak hanya untuk orang muslim, namun menjadi sebuah Rahmatan lil 'alamin. Namun, masih banyak juga orang-orang yang belum menyadari bahwa aturan Islam itulah yang terbaik, mereka lebih memilih aturan lain sebagai pengatur hidupnya dan merasa bahwa aturan hidup itulah yang terbaik. Di sisi lain, ternyata kita juga belum sering untuk memberitahu mereka terkait hal ini. Kita lebih asyik mendebat pemikiran mereka menggunakan logika kita bukan dengan aturan Islam. Tulisan dibawah ini mungkin sedikit membandingkan bahkan membantah beberapa pemikiran yang mungkin populer di sekitar kita.

1. Karl Marx

Nama ini sangat populer di benak kita, nama ini sungguh terkenal di negara-negara Sosialis dan menjadi pencetus sebuah ajaran yang sekarang dikenal sebagai ajaran Marxisme. Saya akan membahas salah satu gagasan Karl Marx yakni yang menyatakan bahwa Agama adalah candu. Bagaimana menurut pandangan Islam?

Sebenarnya ini pernyataan subjektif dari seorang Karl Marx aja, sebab ini sesuai sama pengamatan dia di negaranya dan (mungkin) pada masa Romawi bahwa agama hanya alat seorang penguasa agar rakyat tidak memberontak dan sibuk dengan perkara ritual.

Namun, sebenarnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa Sallam telah menjawab hal ini dengan sabda beliau.

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim)

Klo agama hanya sebagai candu kenapa Imam Al-Qurani rahimahullah mau menegur Muhammad Al-Fatih yang melanggar syariat Allah
subahanahu wa Ta'ala dalam salah satu keputusannya.

Klo agama hanya sebagai candu kenapa Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengancam sulthan mamluk bahwa ia akan melepaskan baiatnya jika sang sulthan tidak mau berjihad melawan orang-orang tartar. 
Islam membuktikan bahwa agama adalah sebuah jalan kebenaran, dan tentunya sesuai dengan aturan sang pencipta yang merupakan aturan terbaik.

Wallahu a'lam bisshawab

Minggu, 29 Desember 2013

Jagalah Saudaramu Ukhti (Teguran bagi para akhawat)

Sebelum membahas mengenai inti dari pembahasan, saya ingin terlebih dahulu mendefinisikan akhawat. Siapa kah mereka? Apakah sesosok perempuan yang menggunakan jilbab 'rapih'. Apakah seorang aktivis da'wah kampus? Atau? Sekali lagi saya mendefinisikan kata akhawat agar tidak terjadi kerancuan dalam tulisan saya ini dan mungkin juga meluruskan pengertian yang salah mengenai kata akhawat. Sepengetahuan saya, yang namanya akhawat ya selain ikhwan, artinya semua perempuan baik yang berjilbab maupun tidak, baik yang berjilbab rapih (syar'i) maupun yang jilbabnya hanya sebagai penutup kepala -kadang disebut ikhwit, sejujurnya saya juga baru mendengar kosa kata ini-, baik yang aktivis da'wah maupun aktivis lain. Nah, jadi yang dimaksud akhawat disini adalah selain ikhwan.

Berawal dari kisah nyata yang mendasari tulisan ini dan mungkin bisa menjadi sebuah pelajaran bagi kita semua. 

Kisah 1  

Suatu hari, disebuah kepengurusan LDK ada seorang ikhwan yang sebut saja bernama Dhika. Dhika cukup terkenal di kalangan pengurus, wajar saja notabene ia merupakan salah satu petinggi di LDK tersebut tak hanya menjadi petinggi, Dhika juga merupakan anak yang tergolong pintar di kampusnya sehingga wajar saja jika banyak orang yang minta diajarkan mengenai suatu mata kuliah termasuk para akhawat di LDK tersebut. 

Seorang akhawat bertanya, itu menjadi sebuah hal yang biasa bagi dirinya. Kalkulus, fisika, maupun kimia bisa dia jawab dengan baik. Namun, suatu hari ada sebuah pertanyaan aneh yang dilontarkan salah seorang akhawat yang notabene juga merupakan pengurus di LDK tersebut, pertanyaan mengenai fiqih wanita. Sontak Dhika kaget kemudian balik bertanya, "Kenapa tidak bertanya ke murabbi antum ukhti ?" kemudian sang akhawat menjawab "Habis murabbi saya bla.. bla.. bla..", yang intinya hujjah dari sang murabbi tidak kuat dan penjelasannya cenderung memaksa dan tidak nyambung sehingga sang akhawat tidak merasa pertanyaannya terjawab. Dhika pun tidak mau menjawab bukan hanya karena canggung tetapi memang tidak tahu.
Beberapa hari kemudian, Dhika mendapat sebuah sms dari akhawat yang berbeda. Isinya "Dhik, mau nanya tapi lewat e-mail aja ya ..". Dhika pun menjawab "Tidak masalah, santai aja ama saya. Kalau sudah dikirim sms aja". Beberapa hari e-mail dari sang akhawat tiba-tiba sms kembali masuk dari sang akhawat "Ma'af komputer tidak bisa dipake, jadi nanya ya pake surat aja ya..". "Ok lah, ga jadi masalah" jawab Dhika. Setelah itu, sang akhawat memberikan sebuah kertas ke Dhika. Sebelum kertas itu dibuka, ternyata di depannya ada sebuah tulisan "Pastikan ketika Anda membuka surat ini, tidak ada siapa pun yang melihatnya". Dhika pun kemudian membuka surat itu huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, halaman demi halaman (ada sekitar 4 halaman) ia baca, setelah membaca lebih dari setengah isi surat ia baru menyadari dalam hatinya ia berkata "Et dah, ni akhawat curhat soal keluarganya lah..". Sebuah kalimat yang menarik baginya "Ma'af ya, aku ga tau harus cerita sama siapa lagi, aku udah cerita ke teman-teman ku tapi bla bla bla" intinya jawaban temannya tidak membantu dan hanya bikin pusing, dan sebuah kalimat terakhir "Aku harap Dhika bisa bantu. Oh ya, jangan kasih tau siapa-siapa ya...".

Dhika pun geleng-geleng, ni akhawat masalahnya minta diselesaikan tapi ga boleh ada yang tau. Saya kan ikhwan, emang bisa seorang ikhwan menyelesaikan masalah akhawat? Akhirnya, Dhika pun membalas surat sang akhawat yang inti suratnya adalah meminta sang akhawat untuk banyak mendekatkan diri kepada Allah dan menceritakan sebuah kisah perjuangan seseorang yang tak pernah menyerah. Beberapa hari setelah menyerahkan surat balasan, sms masuk dari sang akhawat yang intinya sangat berterima kasih atas jawabannya. Dhika kemudian bingung karena ia merasa tidak membantu begitu banyak mengenai masalah sang akhawat.

Sebuah Pelajaran

Saudariku, sungguh temanmu sangat membutuhkanmu maka seharusnya engkau ada untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Kita lihat dari akhawat pertama bagaimana seharusnya jika sang murabbi dari akhawat tidak mengetahui hendaknya tak memaksakan jawaban, menunda jawaban untuk bertanya ke seseorang yang lebih tahu lebih baik dibandingkan dengan memaksakan jawaban. Begitu juga dengan akhawat kedua, saudariku sungguh ia membutuhkan jawabanmu membutuhkan keseriusanmu dalam menyelesaikan masalah maka jawablah masalah itu dengan sebuah kesungguhan bantulah ia, jangan biarkan ia sendiri.

Sebagai seorang ikhwan turut berpesan bagi kalian para akhawat. Janganlah kalian menceritakan kegalauan kalian di status facebook kalian, atau melalui tweet kalian, atau hal lain yang bisa diakses secara umum. Kalian tidak tahu ikhwan yang ada diluar sana pun dapat tutur dalam kegaluan kalian. Cukuplah Allah subahanahu wa Ta'ala sebagai tempat curhat kalian. Sungguh, sekuat apapun seorang ikhwan membentengi diri, namun jika akhawat tidak menjaga diri maka suatu saat benteng itu akan roboh. Jagalah diri kalian wahai saudariku.

Buat para ikhwan -saya juga-, dekatkanlah selalu diri kita kepada Allah subahanahu wa Ta'ala. Hindarilah terlalu banyak interaksi yang dapat menjerumuskanmu.


Wallahu a'lam bisshawab

Minggu, 22 Desember 2013

Belajar Dari Masa Lalu, untuk Masa Depan Lebih Baik

Sejarah bukan merupakan sebuah kisah yang hanya dijadikan dongeng orang-orang dahulu, atau hanya dijadikan sebuah kenangan dalam mengingat masa kejayaan. Setiap peristiwa yang telah berlalu memiliki makna tersendiri jangan pernah mengira bahwa peristiwa yang sudah lewat hanya bisa ditangisi tanpa adanya pelajaran yang dapat diambil.

Kita mengenal bahwa Islam dahulu pernah memiliki sejarah yang gemilang, tidak hanya dari segi kemajuan ilmu pengetahuan, luasnya wilayah, harta yang melimpah. Namun, hal yang paling penting adalah kuatnya nilai-nilai keislaman yang terpatri di dalam dada setiap masyarakatnya sehingga tidak heran ulama sangat dihargai dan keputusannya mejadi sebuah landasan dalam menjalankan sebuah negara.Cerita diwabah ini mungkin dapat dijadikan sebuah renungan dan pelajaran bagi kita, dan bagi da'wah kita. Sebuah kisah nyata yang di adopsi dari sejarah umat Islam.

Kita, sebagai umat Islam tentu mengenal sosok Muhammad Al-Fatih seorang pemuda yang berasal dari kesultanan Turki Utsmaniyah yang berhasil menaklukkan kota Konstatinopel (dikenal kuat tembok pertahanannya selama 800 tahun ), atau shalahuddin Al-Ayubi seorang yang kembali merebut Baitul Maqdis ke tangan orang Muslim. Menjadi sebuah pertanyaan, adakah diantara kita yang mengenal Timur Lenk? Sebuah nama yang asing bagi telinga kita, siapa dia? Sedikit menceritakan tentang Timur Lenk, dia merupakan seorang raja dari dinasti Timuriyah yang berpusat di Samarqand (sebuah kota yang sekarang ada di Uzbekistan), dia berasal dari suku Barlas yang bercorak Turkistan. Nenek moyangnya merupakan orang kesayangan Jengis Khan.

Pada zaman kekuasaan Timur Lenk, terdapat 3 buah negara yang mengaku sebagai kesultanan muslim yang pertama adalah Turki Utsmaniyah yang berpusat di Edirne, Anatolia yang dipimpin oleh Sultan Bayazid I. Kesultanan Mamluk yang berpusat di Kairo, Mesir. Terakhir adalah kesultanan Timur Lenk. Menjadi sebuah pertanyaan baru, ketika kedua kesultanan (Utsmaniyah dan Mamluk) begitu terkenal namun tidak dengan kesultanan Timuriyah. Kenapa itu bisa terjadi? Jika dianalisis, kesultanan Timuriyah merupakan negara terkuat saat itu.

Hal ini bisa dijawab karena kesultanan Timuriyah tidak ubahnya seperti pasukan mongol yang menghancurkan Baghdad. Imam As-Suyuthi menganggap Timur Lenk sebagai bencana bagi umat Muslim abad 8. Timuriyah menganggap bahwa di dunia ini harus dipimpin oleh satu orang, dan menurutnya dialah yang pantas sehingga dia melakukan ekspansi ke daerah kesultanan Utsmaniyah dan menghancurkannya, saat itu Sultan Bayazid I pun ditangkap. Hal ini merupakan sebuah ironi bagaimana mungkin seorang muslim menyerang sesamanya trlebih lagi tindakan pengrusakan yang dilakukan Timur Lenk sangat keji. itulah sebabnya mengapa Timur Lenk tidak pernah diakui sebagai pahlawan Islam.

Menjadi sebuah pelajaran bagi kita dimana sebuah kekuasaan tidak menjadi tujuan utama bagi dakwah. Para ulama sangat berhati-hati dalam menetapkan ini, tidak ada gunanya kekuasaan dakwah hanya bertujuan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Sebuah kisah lagi, kali ini tentang Muhammad Al-Fatih.

Tidak dipungkiri bahwa sosok Muhammad Al-Fatih menjadi inspirasi bagi banyak umat Muslim, namun pernah suatu ketika beliau berbuat kesalahan. Saat itu, beliau telah menguasai Konstantinopel. Pada suatu hari, beliau meminta pengawalnya untuk memberikan sebuah surat keputusan kepada Imam Al-Qurani rahimahullah (Mufti Kesultanan Utsmaniyah) sebagai tanda restu untuk dilakukannya sebuah aturan. Ketika Imam Al-Qurani rahimahullah membaca surat tersebut, beliau melihat adanya sebuah pelanggaran pada syariat Allah subahanahu wa Ta'ala, maka Imam Al-Qurani rahimahullah merobek surat keputusan tersebut dan meminta pengawal mengatakan kepada sultan untuk merubah surat keputusannya itu. Ketika Muhammad Al-Fatih mengetahui perlakuan dari Imam Al-Qurani rahimahullah, sang sultan justru murka kepada sang Imam dan tidak mau meralat keputusannya. Ketika mendengar Muhammad Al-Fatih tak mau merubahnya, maka Imam Al-Qurani rahimahullah pun pergi meninggalkan Kesultanan Utsmaniyah, beliau pergi ke Kesultanan Mamluk. Beberapa waktu kemudian, sang sultan pun mengetahui kesalahannya dan meminta sang Imam untuk balik ke kesultanannya dan sang Imam pun mema'afkan Muhammad Al-Fatih.

Sungguh sebuah keteguhan dari seorang ulama, beliau tak silau terhadap kekuasaan yang dimiliki Muhammad Al-Fatih. Hal ini harusnya menjadi sebuah pelajaran bagi kita, bahwa dakwah bukan untuk penyelesaian sebuah misi duniawi (baca : proker), tetapi merupakan sebuah jalan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Itulah dakwah kita, parameternya bukan selesainya proker, teraihnya sebuah misi dunia tapi merupakan tercapainya sebuah keridhoan Allah subahanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bisshawab
Sumber
1. Tarikh Khulafa, Imam As-Suyuthi
2. Cobaan Para Ulama, Syaikh Syarif Abdul Aziz
3. Sulthan Muhammad AL-Fatih, Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
4. Ensiklopedi Sejarah Islam, Tim Riset dan Studi Islam Mesir


 

Sabtu, 25 Agustus 2012

Kita Tak Hanya di Butuhkan di Kampus


                Kampus merupakan miniatur sebuah negara oleh karena da’wah di kampus menjadi hal yang sangat urgent. Namun, saudaraku tahukah engkau bahwa terkadang kita selalu mengistimewakan da’wah di kampus tanpa mempedulikan da’wah di tempat lain. Bukankah seharusnya kita berda’wah di manapun?

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (Q.S Al-kahfi : 28)

Dan ingatlah kawan sebesar apapun usaha kita sesungguhnya hidayah itu datang dari Allah dan kita tak mampu menuntutnya kita hanya berusaha

“Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya." (Q.S Al-Ankabut : 29)

Sebuah pengalaman yang saya rasakan ketika berhari raya Idul Fitri di kampung. Berikut ceritanya

                 Hari ini adalah tanggal 1 Syawal 1433 H, sebuah hari yang sangat berbahagia karena ini adalah hari Idul Fitri. Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini pun aku melaksanakan shalat Idul Fitri di kampung ku. Namun, ada sesuatu yang berbeda sebab pada tahun ini aku tidak tingga lagi kampung bersama orang tua ku, aku sekarang tinggal di Bandung disebabkan melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tingggi di kota tersebut, sehingga aku pun bisa dianggap sebagai pendatang.
                Hari itu berjalan seperti biasa ketika selesai melaksanakan Shalat Idul Fitri, kami pun meminta ma’af kepada orang lain mulai dari keluarga sampai ke tetangga di sekitar. Menjadi sebuah celetukan yang sangat menusuk ketika ada diantara tetangga ku yang berkata “Lukman kemana aja nih, ga keliatan padahal ditungguin buat ngisi di mushalla. Eh, malah baru datang sekarang”. Kemudian orang-orang yang berada di sekitar pun mulai berujar “Tau nih, masa ngurusin yang di luar doang, masa yang disini ga diurusin”.
                Berfikir sejenak, dan ternyata memang benar bahwa selama ini saya kurang dalam berda’wah di sekitar rumah. Padahal, ladang da’wah terbuka lebar. Aku bukanlah seorang yang baru pulang dari Mekkah, Madinah, ataupun Kairo yang notabene berisi mahasiswa yang belajar secara mendalam ilmu agama, aku bukanlah seorang yang sedang menuntut ilmu agama secara spesifik di Bandung. Tapi kenapa mereka mengharapkanku?
                Saudaraku, yang menjadi pelajaran adalah terkadang kita merasa da’wah pasti tertolak tapi apakah seperti itu? Terkadang kita sendiri yang menolak ladang da’wah itu, kita terkadang merasa bahwa di tempat ini efek da’wah kurang terasa, jadi ga usah da’wah disini. Tapi apakah seperti itu? Bukankah yang berhak menentukan hidayah adalah Allah? Terkadang kita terlalu mempetak-petakkan ladang da’wah padahal semua ornag berhak mendapatkan da’wah.
 

Jumat, 24 Agustus 2012

Dimana Kita Memposisikan Al-Qur'an?


Mungkin menjadi sebuah cerminan dalam diri kita ketika petunjuk hidup tidak lagi menjadi petunjuk. Ketika Al-Qur’an hanya dianggap sebuah buku biasa yang tak ubahnya seperti buku text book kuliah bahkan lebih rendah lagi. Berikut kisahnya.
Suatu hari saya sedang pergi ke toko buku, menarik memang melihat 2 orang wanita yang sedang melihat-lihat Al-Qur’an sambil memilih model dan jenis Al-Qur’an yang ingin ia beli. Awalnya saa menganggap itu merupakan hal biasa sebab terkadang saya pun sering melakukannya jenis font tulisan yang tidak semuanya sama dan juga mungkin warna yang kita sukai.
Kedua wanita itu terus saja berbincang tentang model yang ingin mereka beli, sampai suatu percakapan yang membuat saya miris. Yang kira-kira redaksinya seperti ini “Eh, Al-Qur’an ini bagus dah, di dalamnya ada coraknya dan ini juga ada terjemahannya”,kata salah seorang diantara mereka. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya “Sebenarnya ga terjemahannya ga ada masalah sih, ini kan Cuma buat kenang-kenangan aja, hahhaha”.
Begitu rendahkah kita memperlakukan Al-Qur’an yang notabene merupakan firman Allah Subahanallahu wa Ta'ala? Apakah Al-Qur’an hanya dijadikan cinderamata saat idul fitri? Apakah Al-Qur’an hanya dijadkan pajangan dan untuk mengusir setan? Apakah Al-Qur’an hanya dijadikan mahar pada pernikahan? Fungsi Al-Qur’an jauh lebih berharga dari itu semua, ia harusnya dijadikan sebuah petunjuk hidup referensi segalanya
“Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q.S Al-Baqarah : 2)
Tidak kah kita merasa sedih ketika kita mendengar firman Allah Subahanallahu wa Ta'ala
“Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan’. (Q.S Al-Furqan : 30)
                Saudaraku, ketahuilah sungguh ayat-ayat Allah itu sangat mahal (Q.S Al-Baqarah :174) janganlah kita menjadikan Al-Qur’an sebagai suatu yang rendah, Al-Qur’an haruslah dimaknai isi dan kandungannya itulah yang membuat hidup kita teratur. “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Q.S Al-Maidah: 50)