Muwashaffat Muslim

Muwashaffat Muslim
Assalamu'alaikum wr.wb

Minggu, 22 Desember 2013

Belajar Dari Masa Lalu, untuk Masa Depan Lebih Baik

Sejarah bukan merupakan sebuah kisah yang hanya dijadikan dongeng orang-orang dahulu, atau hanya dijadikan sebuah kenangan dalam mengingat masa kejayaan. Setiap peristiwa yang telah berlalu memiliki makna tersendiri jangan pernah mengira bahwa peristiwa yang sudah lewat hanya bisa ditangisi tanpa adanya pelajaran yang dapat diambil.

Kita mengenal bahwa Islam dahulu pernah memiliki sejarah yang gemilang, tidak hanya dari segi kemajuan ilmu pengetahuan, luasnya wilayah, harta yang melimpah. Namun, hal yang paling penting adalah kuatnya nilai-nilai keislaman yang terpatri di dalam dada setiap masyarakatnya sehingga tidak heran ulama sangat dihargai dan keputusannya mejadi sebuah landasan dalam menjalankan sebuah negara.Cerita diwabah ini mungkin dapat dijadikan sebuah renungan dan pelajaran bagi kita, dan bagi da'wah kita. Sebuah kisah nyata yang di adopsi dari sejarah umat Islam.

Kita, sebagai umat Islam tentu mengenal sosok Muhammad Al-Fatih seorang pemuda yang berasal dari kesultanan Turki Utsmaniyah yang berhasil menaklukkan kota Konstatinopel (dikenal kuat tembok pertahanannya selama 800 tahun ), atau shalahuddin Al-Ayubi seorang yang kembali merebut Baitul Maqdis ke tangan orang Muslim. Menjadi sebuah pertanyaan, adakah diantara kita yang mengenal Timur Lenk? Sebuah nama yang asing bagi telinga kita, siapa dia? Sedikit menceritakan tentang Timur Lenk, dia merupakan seorang raja dari dinasti Timuriyah yang berpusat di Samarqand (sebuah kota yang sekarang ada di Uzbekistan), dia berasal dari suku Barlas yang bercorak Turkistan. Nenek moyangnya merupakan orang kesayangan Jengis Khan.

Pada zaman kekuasaan Timur Lenk, terdapat 3 buah negara yang mengaku sebagai kesultanan muslim yang pertama adalah Turki Utsmaniyah yang berpusat di Edirne, Anatolia yang dipimpin oleh Sultan Bayazid I. Kesultanan Mamluk yang berpusat di Kairo, Mesir. Terakhir adalah kesultanan Timur Lenk. Menjadi sebuah pertanyaan baru, ketika kedua kesultanan (Utsmaniyah dan Mamluk) begitu terkenal namun tidak dengan kesultanan Timuriyah. Kenapa itu bisa terjadi? Jika dianalisis, kesultanan Timuriyah merupakan negara terkuat saat itu.

Hal ini bisa dijawab karena kesultanan Timuriyah tidak ubahnya seperti pasukan mongol yang menghancurkan Baghdad. Imam As-Suyuthi menganggap Timur Lenk sebagai bencana bagi umat Muslim abad 8. Timuriyah menganggap bahwa di dunia ini harus dipimpin oleh satu orang, dan menurutnya dialah yang pantas sehingga dia melakukan ekspansi ke daerah kesultanan Utsmaniyah dan menghancurkannya, saat itu Sultan Bayazid I pun ditangkap. Hal ini merupakan sebuah ironi bagaimana mungkin seorang muslim menyerang sesamanya trlebih lagi tindakan pengrusakan yang dilakukan Timur Lenk sangat keji. itulah sebabnya mengapa Timur Lenk tidak pernah diakui sebagai pahlawan Islam.

Menjadi sebuah pelajaran bagi kita dimana sebuah kekuasaan tidak menjadi tujuan utama bagi dakwah. Para ulama sangat berhati-hati dalam menetapkan ini, tidak ada gunanya kekuasaan dakwah hanya bertujuan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Sebuah kisah lagi, kali ini tentang Muhammad Al-Fatih.

Tidak dipungkiri bahwa sosok Muhammad Al-Fatih menjadi inspirasi bagi banyak umat Muslim, namun pernah suatu ketika beliau berbuat kesalahan. Saat itu, beliau telah menguasai Konstantinopel. Pada suatu hari, beliau meminta pengawalnya untuk memberikan sebuah surat keputusan kepada Imam Al-Qurani rahimahullah (Mufti Kesultanan Utsmaniyah) sebagai tanda restu untuk dilakukannya sebuah aturan. Ketika Imam Al-Qurani rahimahullah membaca surat tersebut, beliau melihat adanya sebuah pelanggaran pada syariat Allah subahanahu wa Ta'ala, maka Imam Al-Qurani rahimahullah merobek surat keputusan tersebut dan meminta pengawal mengatakan kepada sultan untuk merubah surat keputusannya itu. Ketika Muhammad Al-Fatih mengetahui perlakuan dari Imam Al-Qurani rahimahullah, sang sultan justru murka kepada sang Imam dan tidak mau meralat keputusannya. Ketika mendengar Muhammad Al-Fatih tak mau merubahnya, maka Imam Al-Qurani rahimahullah pun pergi meninggalkan Kesultanan Utsmaniyah, beliau pergi ke Kesultanan Mamluk. Beberapa waktu kemudian, sang sultan pun mengetahui kesalahannya dan meminta sang Imam untuk balik ke kesultanannya dan sang Imam pun mema'afkan Muhammad Al-Fatih.

Sungguh sebuah keteguhan dari seorang ulama, beliau tak silau terhadap kekuasaan yang dimiliki Muhammad Al-Fatih. Hal ini harusnya menjadi sebuah pelajaran bagi kita, bahwa dakwah bukan untuk penyelesaian sebuah misi duniawi (baca : proker), tetapi merupakan sebuah jalan untuk menegakkan aturan Allah subahanahu wa Ta'ala. Itulah dakwah kita, parameternya bukan selesainya proker, teraihnya sebuah misi dunia tapi merupakan tercapainya sebuah keridhoan Allah subahanahu wa Ta'ala. Wallahu a'lam bisshawab
Sumber
1. Tarikh Khulafa, Imam As-Suyuthi
2. Cobaan Para Ulama, Syaikh Syarif Abdul Aziz
3. Sulthan Muhammad AL-Fatih, Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi
4. Ensiklopedi Sejarah Islam, Tim Riset dan Studi Islam Mesir


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar